A. Sukses dalam Pandangan Modern (Barat)
Sebelum menentukan standar kesuksesan menurut pandangan dunia modern atau barat, perlu diketahui terlebiiih dahulu cara pandang dan gaya hidup mereka. Diakui atau tidak, kemajuan Barat sepertinya ini tidak dapat dilepaskan dari akar histori yang cukup panjang. Mereka maju bukan tanpa berkaca pada sejarahnya pada msa lampau. Akan tetapi, masa lampau yang demikian suramlah yang telah menjadikan mereka seperti yang sebagian besar manusia bangga-bangga hingga kini.
Awal kemajuan bangsa Barat adalah pada saat mereka mengedepankan akal. Akal dijadikan pemimpin dalam menuntun kehidupannya setiap hari. Bahkan, dampak kecenderungan yang jelas bahwa akal menjadi Tuhan baru dalam kehidupan mereka. Karena akal bersifat materi maka secara otomatis ukuran yang dijadikan patokan dalam melakukan penilaian berbagai hal adalah materi. Dari pemikiran itulah, muncul istilah-istilah yang sering didengar, seperti materialime, positivisme, dan fragmatisme.
Dengan demikian, maka ukuran dan standar kesuksesan menurut masyarakat Barat adalah manakala seseorang telah memiliki simpanan uang di bank yang banyak, tanah yang luas, mobil yang mewah, rumah yang megah, dan hal-hal lainnya yang bersifat indrawi atau fisik. Apabila hal-hal fisik belum dimiliki maka belum tergolong ke dalam orang yang sukses menurut pandangan mereka.
orientasi kesuksesan yang dipahami barat adalah dapat berhasil di dunia. Setiap yang diinginkan di dunia ini dapat terwujud maka hal tersebut mengindikasikan bahwa dirinya telah mengalami kesuksesan. Kesuksean versi barat tidak pernah mempertanyakan cara meraihnya (prosesnya), tetapi yang dijadikan ukuran adalah hasil akhir. Dengan kata lain, silahkan anda bebas berbuat yang anda sukai dengan beragam cara. Akan tetapi, anda harus berhasil meraihnya.
Dalam istilah lain, sikap yang ditempuh orang-orang barat dalam mencapai tujuan dengan beragam cara atau menghalalkan segala cara disebut dengan machiavelisme. orang yang menganut paham terebut disebut dengan machiavelis. Dia akan melakukan beragam cara tanpa pernah sedikitpun memikirkan baik dan buruk, dampak tehadap orang lain, dan aturan-aturan yang berlaku lainnya.
Seorang machiavelis sejati bukanlah yang selalu memilah dan memilih sesuatu yang akan diraihnya. Sikap penghalalan segala cara diempuh bukan tehadap urusan-urusan materi, melainkan hal-hal imateri pun sangat mungkin dilakukan. Misalnya, keinginan menjatuhkan citra baik seseorang menjadi buruk. Padahal, secara materi perbuatan tersebut tidak memberikan keuntungan kepada dirinya. Akan tetapi, itulah seorang machiavelis. Dia bukan lagi berbicara keuntungan materi, melaikan dirinya menghendaki suatu tujuan tertentu. Baik bernilai materi maupun tidak, maka segala upaya dan cara akan ditempuh untuk mewujudkannya. Dalam hal ini, menjatuhkan citra seseorang yang asalnya baik di hadapan semua orang menjadi buruk karena usaha jahatnya tersebut.
Kini, fenomena dimikian tidak hanya dimiliki oleh mereka yang berasal dari barat. Akan tetapi, telah merasuki pikiran dan jiwa sebagian umat islam yang tidak sadar dan paham pada jati dirinya sebagai seorang muslim yang terikat dengan ajaran dan aturan Illahi. Munculnya sikap menghalalkan segala cara yang dilakukan oleh manusia modern, baik di antara umat islam maupun umat di luar islam bersumber dari sikap hidup hedonistik . Budaya hidup hedonistik adalah gaya hidup yang di tempuh dengan dasar kepuasan. Semua hal yang dimiliki ingin dirasakan dengan sepuas-puasnya tanpa terkecuali dan tanpa batas.
B. Sukses dalam Pandangan Islam
Setiap penilaian yang dibuat oleh seseorang pastilah tidak akan pernah sama dengan orang laiin terhadap suatu objek. Hal tersebut banyak faktor yang melatarbelakanginya. Diantara faktor tersebut adalah sudut pandang. Sebagai analogi sederhana, sebuah meja yang dihadapi oleh empat orang dari empat sudut yang berbeda maka akan melahirkan pandangan yang bermacam-macam jika mereka ditanya sesuatu yang dilihat pada meja tesebut. Bahkan, perbedaan yang terjadi tidak hanya itu. Jika mereka berempat berada pada satu sudut saja dalam melihat meja, penilaiannya pun belum tentu sama antara satu dan lainnya. Itulah yang kemudian dikenal dengan perspektif.
Terkait dengan pandangan kesuksesan yang tengah dibicarakan, pada bagian yang lalu telah disampaikan pandangan kesuksesan menurut sudut pandang barat. Berikutnya, suatu kesuksesan dapat dipandang dengan sudut padang lainnya, yaitu Islam. Pastilah, hasil sudut pandang tersebut akan berbeda dengan sebelumnya karena barat dan islam merupakan dua kutub yang berbeda.
1. Sukses Materi dan Imateri
Apabila barat melihat kesuksesan secara materi maka Islam tidak menafikkan hal tersebut. Akan tetapi, hal materi bukanlah menjadi tujuan yang pokok. Keberhasilan seseorang dengan melihat aspek materi merupakan hal lumrah dan umum sifatnya. Namun, ketika hal tesebut dikaitkan dengan yang bersifat imateri maka akan menjadi unik dan dalam maknanya. Demikianlah islam memandang suatu kesuksesan . Bahkan, tidak jarang kesuksesan yang dimaksud dalam islam dapat mengalahkan salah satunya, yaitu sisi-sisi materi. Artinya, sekalipun seseorang di dunia tidak meraih kesuksesan materi (dunia) karena ketakwaan yang dipegang secara konsisten maka dia akan meraih kesuksesan imateri kelak di akhirat.
Pandangan ajaran Islam dalam memberikan penilaian terhadap sesuatu memiliki makna yang sangat dalam dan berimplikasi menembus ruang dan waktu. Terkadang, hal-hal yang ditetapkan dalam ajaran Islam, melalui wahyu atau sabda Rasul, tidak dapat diijangkau dengan akal manusia. Akan tetapi, seiring dengan berjalannya waktu maka semua jawaban tersebut terungkap dengan sendirinya.
Berkaitan dengan sifat dan ciri kesuksesan yang ditetapkan dalam ajaran Islam, cukup banyak hal yang dapat ditelusuri kenyataannya pada sabda-sabda Rasul. Misalnya, pada suatu kesempatan bersama para sahabat, Rasulullah saw. melemparkan suatu pertanyaan.
"Tahukah kalian siapakakh oang yan bangkrut itu?" Tanya Rasul. lalu, dengan spontan diantara sahabat banyak yang berkata,
"Wahai Rasul, menurut kami orang yan bangkrut adalah orang yang sudah tidak memiliki dinar dan dirham." Kemudian, jawaban-jawaban mereka segera ditanggapi oleh Rasul dengan mengatakan.
"Bukan seperti itu."
Lalu, beliau melanjutkan bahwa seseorang yang mengalami bangkrut adalah dia yang akan menghadap Allah pada hari penghisapan dengan membawa sejumlah amal shaleh, seperti shalat, zakat, saum, dan sebagainya. Akan tetapi, pada saatt yang bersamaan, dia juga membawa amalan-amalan buruknya. Misalya, ketika hidup pernah menganiaya saudaranya, menzalimi, menumpahkan darah (membunuh yang tidak dibenarkan), menuduh, memfitnah, dan sebagainya.
Kemudian, Rasul melanjutkan penjelasannya tersebut. Ketika berada pada persidangan Allah maka datanglah orang-orang yang pernah memjadi korban dari kejahatannya. Mereka meminta keadilan dan balasan yang setimpal. Lalu, amal--amal kebaikan yang dibawanya tadi dijadikan semacam penebus terhadap dosa-dosa yang dilakukannya. Satu persatu amalan baik tersebut berkurang hingga akhirnya tidak ada yang tersisa. Padahal, amalan keburukannya masih banyak lagi. Hal itu ditandai dengan masih banyak orang yang meminta keadilan dan pertanggung jawaban kepadanya. Kemudian, Allah swt. menetapkan keputusannya bahwa si hamba ynag habis amal shalehnya tersebut harus disiksa dalam neraka sebagai balasan dari keburukannya yang masih banyak. itulah yang dimaksud dengan bangkrut.
Dalam kisah tersebut, tampak jelas bahwa standar kesuksesan yang ditetapkan ajaran Islam sangat berbeda yang dibayangkan manusia. Penilaian dan pemaknaannya demikian dalam, sehingga tidak ada di antara para sahabat yang menduga bahwa yang dimaksud bangkrut dalam pandangan ajaran Islam adalah seperti yang elah dikemukakan dan dijelaskan Rasulullah saw. tersebut.
2. Memperhatikan Proses yang Dilakukan
Selain itu, ciri lain dari standar kesuksesan dalam pandangan Islam adalah memerhatikan proses dan tidak melihat pada hasil akhir. Hasil akhir dari sebuah usaha bukanlah segalanya atau yang sangat menentukan bahwa usaha yang dilakukannya sungguh-sungguh dan sesuai dengan aturan yang ada. Dalam tradisi barat, hasil akhir merupakan hal yang sangat penting dan pokok sifatnya. Bahkan dari hasil itulah, orang-orang yang biasa memakai pola pikir barat dapat menyimpulkan bahwa usaha yang dilakukan dalam meraihnya merupakan usaha yang maksimal dan sungguh-sungguh. Mereka tidak pernah mempersoalkan bagaimana cara yang ditempuhnya, apakah sesuai dengan aturan yang ada atau justru sebaliknya.
Dalam sebuah hasil akhir, peran Allah swt. sangat menentukan sekalipun tidak sedikit di antara manusia yang memiliki perhitungan bahwa ketercapaian menuju kesuksesan telah mencapai 99.9%. Akan tetapi, Allah menghendaki lain ddari tujuan yang diharapkan manusia, pastilah akan berubah walaupun persentasenya sangat sedikit.
Allah swt. mengajari kita untuk berusaha semaksimal mungkin dalam meraih segala hal. Namun, usaha tersebut harus pula memerhatikan rambu-rambu yang telah ditetapkan-Nya. Dengan demikian, sekali pun hasil yang diraih berbeda dengan apa yang diharapkan, tetapi Allah akan membalas usaha yang dilakukannya.
B. Sukses dalam Pandangan Islam
Setiap penilaian yang dibuat oleh seseorang pastilah tidak akan pernah sama dengan orang laiin terhadap suatu objek. Hal tersebut banyak faktor yang melatarbelakanginya. Diantara faktor tersebut adalah sudut pandang. Sebagai analogi sederhana, sebuah meja yang dihadapi oleh empat orang dari empat sudut yang berbeda maka akan melahirkan pandangan yang bermacam-macam jika mereka ditanya sesuatu yang dilihat pada meja tesebut. Bahkan, perbedaan yang terjadi tidak hanya itu. Jika mereka berempat berada pada satu sudut saja dalam melihat meja, penilaiannya pun belum tentu sama antara satu dan lainnya. Itulah yang kemudian dikenal dengan perspektif.
Terkait dengan pandangan kesuksesan yang tengah dibicarakan, pada bagian yang lalu telah disampaikan pandangan kesuksesan menurut sudut pandang barat. Berikutnya, suatu kesuksesan dapat dipandang dengan sudut padang lainnya, yaitu Islam. Pastilah, hasil sudut pandang tersebut akan berbeda dengan sebelumnya karena barat dan islam merupakan dua kutub yang berbeda.
1. Sukses Materi dan Imateri
Apabila barat melihat kesuksesan secara materi maka Islam tidak menafikkan hal tersebut. Akan tetapi, hal materi bukanlah menjadi tujuan yang pokok. Keberhasilan seseorang dengan melihat aspek materi merupakan hal lumrah dan umum sifatnya. Namun, ketika hal tesebut dikaitkan dengan yang bersifat imateri maka akan menjadi unik dan dalam maknanya. Demikianlah islam memandang suatu kesuksesan . Bahkan, tidak jarang kesuksesan yang dimaksud dalam islam dapat mengalahkan salah satunya, yaitu sisi-sisi materi. Artinya, sekalipun seseorang di dunia tidak meraih kesuksesan materi (dunia) karena ketakwaan yang dipegang secara konsisten maka dia akan meraih kesuksesan imateri kelak di akhirat.
Pandangan ajaran Islam dalam memberikan penilaian terhadap sesuatu memiliki makna yang sangat dalam dan berimplikasi menembus ruang dan waktu. Terkadang, hal-hal yang ditetapkan dalam ajaran Islam, melalui wahyu atau sabda Rasul, tidak dapat diijangkau dengan akal manusia. Akan tetapi, seiring dengan berjalannya waktu maka semua jawaban tersebut terungkap dengan sendirinya.
Berkaitan dengan sifat dan ciri kesuksesan yang ditetapkan dalam ajaran Islam, cukup banyak hal yang dapat ditelusuri kenyataannya pada sabda-sabda Rasul. Misalnya, pada suatu kesempatan bersama para sahabat, Rasulullah saw. melemparkan suatu pertanyaan.
"Tahukah kalian siapakakh oang yan bangkrut itu?" Tanya Rasul. lalu, dengan spontan diantara sahabat banyak yang berkata,
"Wahai Rasul, menurut kami orang yan bangkrut adalah orang yang sudah tidak memiliki dinar dan dirham." Kemudian, jawaban-jawaban mereka segera ditanggapi oleh Rasul dengan mengatakan.
"Bukan seperti itu."
Lalu, beliau melanjutkan bahwa seseorang yang mengalami bangkrut adalah dia yang akan menghadap Allah pada hari penghisapan dengan membawa sejumlah amal shaleh, seperti shalat, zakat, saum, dan sebagainya. Akan tetapi, pada saatt yang bersamaan, dia juga membawa amalan-amalan buruknya. Misalya, ketika hidup pernah menganiaya saudaranya, menzalimi, menumpahkan darah (membunuh yang tidak dibenarkan), menuduh, memfitnah, dan sebagainya.
Kemudian, Rasul melanjutkan penjelasannya tersebut. Ketika berada pada persidangan Allah maka datanglah orang-orang yang pernah memjadi korban dari kejahatannya. Mereka meminta keadilan dan balasan yang setimpal. Lalu, amal--amal kebaikan yang dibawanya tadi dijadikan semacam penebus terhadap dosa-dosa yang dilakukannya. Satu persatu amalan baik tersebut berkurang hingga akhirnya tidak ada yang tersisa. Padahal, amalan keburukannya masih banyak lagi. Hal itu ditandai dengan masih banyak orang yang meminta keadilan dan pertanggung jawaban kepadanya. Kemudian, Allah swt. menetapkan keputusannya bahwa si hamba ynag habis amal shalehnya tersebut harus disiksa dalam neraka sebagai balasan dari keburukannya yang masih banyak. itulah yang dimaksud dengan bangkrut.
Dalam kisah tersebut, tampak jelas bahwa standar kesuksesan yang ditetapkan ajaran Islam sangat berbeda yang dibayangkan manusia. Penilaian dan pemaknaannya demikian dalam, sehingga tidak ada di antara para sahabat yang menduga bahwa yang dimaksud bangkrut dalam pandangan ajaran Islam adalah seperti yang elah dikemukakan dan dijelaskan Rasulullah saw. tersebut.
2. Memperhatikan Proses yang Dilakukan
Selain itu, ciri lain dari standar kesuksesan dalam pandangan Islam adalah memerhatikan proses dan tidak melihat pada hasil akhir. Hasil akhir dari sebuah usaha bukanlah segalanya atau yang sangat menentukan bahwa usaha yang dilakukannya sungguh-sungguh dan sesuai dengan aturan yang ada. Dalam tradisi barat, hasil akhir merupakan hal yang sangat penting dan pokok sifatnya. Bahkan dari hasil itulah, orang-orang yang biasa memakai pola pikir barat dapat menyimpulkan bahwa usaha yang dilakukan dalam meraihnya merupakan usaha yang maksimal dan sungguh-sungguh. Mereka tidak pernah mempersoalkan bagaimana cara yang ditempuhnya, apakah sesuai dengan aturan yang ada atau justru sebaliknya.
Dalam sebuah hasil akhir, peran Allah swt. sangat menentukan sekalipun tidak sedikit di antara manusia yang memiliki perhitungan bahwa ketercapaian menuju kesuksesan telah mencapai 99.9%. Akan tetapi, Allah menghendaki lain ddari tujuan yang diharapkan manusia, pastilah akan berubah walaupun persentasenya sangat sedikit.
Allah swt. mengajari kita untuk berusaha semaksimal mungkin dalam meraih segala hal. Namun, usaha tersebut harus pula memerhatikan rambu-rambu yang telah ditetapkan-Nya. Dengan demikian, sekali pun hasil yang diraih berbeda dengan apa yang diharapkan, tetapi Allah akan membalas usaha yang dilakukannya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Silahkan memberikan masukan, kritik, saran maupun pertanyaan