Tertarik juga

Jumat, 25 Mei 2018

Kisah Tsabit bin Ibrahim


Tragedi Setengah Biji Buah Apel





Sinar matahari masih terik ketika seorang lelaki yang sholeh bernama Tsabit bin Ibrahim sedang berjalan di pinggir kota Kufah. Tiba-tiba dia melihat sebuah apel jatuh keluar pagar sebuah kebun buah-buahan yang subur. Melihat apel yang merah ranum itu tergeletak di tanah, membuat air liur Tsabit terbit, apalagi di hari yang panas dan tengah kehausan. Maka tanpa berfikir panjang dipunggut dan dimakanlah buah apel yang lezat itu. Akan tetapi baru saja setengahnya dimakan dia teringat, bahwa buah itu bukanlah miliknya, dan belum juga mendapat izin pemiliknya.

Maka ia segera masuk ke dalam kebun itu untuk menemui pemiliknya, agar dihalalkan buah yang telah dimakannya. Di kebun itu ia bertemu dengan seorang lelaki, maka langsung saja dia berkata, 

"Pak, aku menemukan apel ini tergeletak di tepi jalan. Dan aku sudah memakan setengahnya. Aku berharap anda menghalalkannya."



Orang tersebut menjawab,

"Aku bukanlah pemilik kebun ini. Aku hanyalah pekerja yang ditugaskan menjaga dan mengurus kebun ini."

Dengan nada menyesal Tsabit bertanya lagi,

"Dimanakah rumah pemiliknya? Aku akan menemuinya, dan minta agar dihalalkan apel yang telah kumakan ini."

Pengurus kebun itu berkata kepadanya, apabila engkau ingin pergi kesana, engkau harus menempuh perjalan sehari semalam.

Tsabit bin Ibrahim bertekad akan tetap pergi kerumah pemilk kebun tersebut. Tidak mengapa akan dia tempuh perjalanan jauh, karena Tsabit telah memakan apel yang tidak halal baginya, karena tanpa izin pemiliknya. Karena sesuai dengan sabda Rasulullah saw. 

''Siapa yang tubuhnya tumbuh dari yang haram, maka ia lebih layak menjadi umpan api neraka.''

Tsabit lalu pergi kerumah pemilik kebun itu. Setiba disana dia langsung mengetuk pintu. Setelah si pemilik rumah membukakan pintu, Tsabit langsung memberi salam dengan sopan, seraya berkata, ''Wahai tuan yang pemurah, saya sudah terlanjur makan setengah dari buah apel tuan yang jatuh keluar kebun tuan. Karena itu maukah tuan menghalalkan apa yang sudah kumakan itu?"

Lelaki tua itu sangat heran melihat kejujuran pemuda tampan yang menjadi tamunya ini. Seumur hidupnya tidak pernah menemui pemuda yang mau berjalan sehari semalam 'hanya' untuk meminta label halal bagi apel yang dipunggut di tepi jalan. Maka dia tidak ingin melepaskan pemuda tersebut begitu saja. Lalu dengan tegas dia berkata, "Tidak, aku tidak bisa menghalalkannya, kecuali dengan satu syarat."

Tsabit merasa khawatir dengan syarat itu, karena takut dia tidak dapat memenuhinya. Dia lebih takut siksaan di akhirat daripada masuk bui. Maka segera ia bertanya 'Apa syarat itu tuan?"

Kejutan pertama menghantam dada Tsabit, ketika orang itu menjawab, "Engkau harus, menikahi putriku!"

Dada Tsabit bin Ibrahim langsung berdetak denggan kerasnya Dia tidak bisa memahami jalan pikir lelak berwajah tenang dan berwibawa itu. Maka dia bertanya lagi, 

"Apakah hanya karena memakan setengah biji buah apel yang keluar dari kebunmu, aku harus menikahi putrimu?"

Pemilik kebun itu seolah tidak peduli rotes Tsabit. Ia bahkan menambahkan, bahwa sebelum pernikahannya di mulai engkau harus tahu dulu kekurangan-kekurangan putriku itu. Dia seorang yang buta, bisu, dan tuli. Lebih dari tu dia seorang yang lumpuh.

Tsabit amat terkejut mendengar deskripsi si calon isteri, ini benar-benar terlalu. Bahkan dia sempat befikir, ini sebuah tragedi! Apakah perempuan seperti itu patut dipersunting sebagai isteri hanya gara-gara makan setengah biji buah apel yang tidak halal? Mungkin lebih baik sebulan masuk tahanan polisi, daripada menderita seumur hidup dengan isteri yang terpaksa dinikahi!

Melihat kebimbangan Tsabit, si pemilik kebun itu terus menekan lagi, dengan meyerang sisi keimanan Tsabit. Bila dia tidak mau memenuhi syarat itu, maka pemilik kebun tersebut tidak akan menghalalkan apa yang telah dimakannya.

Namun hati Tsabit telah mantap dia tidak ingin masuk neraka hanya karena makan setengah buah apel yang tidak halal. Kemudian Tsabit menjawab,

"Baiklah, aku akan menerima pinangannya dan pernikahannya. Aku telah bertekad akan mengadakan transaksi dengan Allah Rabbul 'alamin. Untuk itu aku akan memenuhi hak dan kewajibanku kepadanya. Karena aku amat berharap Allah selalu meridhaiku. Dan mudah-mudahan aku dapat meningkatkan amal kebaikanku di sisi Allah Ta'ala."

Maka pernikahan Tsabit pun berlangsung dilaksanakan hari itu juga. Pemilik kebun itu segera menghadirkan dua orang saksi yang akan menyaksikan proses akad nikah mereka. Sesudah akad nikah selesai, Tsabit pun langsung dipersilahkan masuk untuk menemui isterinya.

Sewaktu Tsabit hendak masuk kamar pengatin, dia berfikir akan tetap mengucapkan salam walaupun isterinya tuli dan bisu. Karena, bukankah malaikat Allah yang ada didalam rumahnya tentu tidak tuli dan bisu juga. Maka ia pun mengucapkan salam.


"Salamun 'alaikum..."

Sebuah kejutan hebat terjadi lagi bagi Tsabit yang alim. Tidak disangkanya sama sekali, wanita muda yang ada dihadapannya, dan sudah resmi jadi isterinya itu menjawab salamnya dengan baik,

"Salamun 'alaikum bima sobartum..."

Hari ini memang penuh kejutan. Ketika Tsabit hendak menghampiri wanita itu, dia mengulurkan tangan untuk menyambut tanganya. Sekali lagi Tsabit terkejut, karena wanita yang baru saja menjadi isterinya itu menyambut uluran tangannya.

Tsabit sempat terhenyak dengan kenyataan ini. Bagaimana tidak wanita yang sebelumnya di katakan oleh ayahnya, bahwa dia itu wanita tuli dan bisu, tetapi ternyata dia menyambut salamnya dengan baik. Jika demikian berarti dia dapat mendengar dan tidak bisu. Ayahnya juga mengatakan bahwa dia buta dan lumpuh, tetapi ternyata dia menyambut kedatangan Tsabit dengan ramah, dan ternyata mengulurkan tangannya yang mesra pula.

Lalu wanita cantik itu dengan senyum simpul dan sabar menjawab,

"Ayahku benar,, karena aku tidak pernah melihat apa-apa yang diharamkan Allah''

Tsabit bertanya lagi, "Ayahmu juga mengatakan bahwa engkau tuli, mengapa?"

Masi dengan senyum wanita muda itu menjawab, "Ayahku benar, karena aku tidak pernah mau mendengar berita dan cerita orang yang tidak membuat ridha Allah. Ayah juga mengatakan kepadamu, bahwa aku bisu juga lumpuh, bukan?" tanya wanita itu.

Karena masih di liputi takjub, Tsabit hanya bisa mengangguk perlahan, membenarkan pertanyaan isterinya. Wanita itu lalu menjelaskan, "Aku dikatakan bisu, karena dalam banyak hal aku hanya menggunakan lidahku untuk menyebut asma Allah Ta'ala saja. Aku juga dikatakan lumpuh, karena kakiku tidak pernah pergi ke tempat-temat maksiat yang bisa menimbulkan kegusaran Allah Ta'ala."

Tsabit amat bahagia mendapatkan isteri yang ternyata amat sholihah, dan wanita yang mampu memelihara dirinya. Dengan bangga dia berkata tentang isterinya yang bening, "Ketika kulihat wajahnya, subahanallah, dia bagaikan bulan purnama di malam yang gelap gulita."

Keluarga Tsabit bin Ibrahim dan isterinya yang sholihah dan cantik itu hidup rukun dan berbahagia. Tidak lama kemudian mereka mendapat karunia seorang putra, yang ilmunya memancarkan hikmah keseluruh penjuru dunia. Dia adalah Al-Imam Abu Hanifah An-Nu'man bin Tsabit.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Silahkan memberikan masukan, kritik, saran maupun pertanyaan